Dampak awal pandemi COVID-19 berdimensi gender terhadap pasar tenaga kerja Indonesia: Bagaimana pengaruhnya terhadap masa depan kerja perempuan? Daniel Halim, Sean Hambali, Ririn Salwa Purnamasari Intisari Pandemi COVID-19 dan kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengendalikan penyebaran virus COVID-19 berpotensi memberikan dampak mendalam terhadap penghidupan penduduk dan perekonomian Indonesia. • Memasuki bulan keenam pandemi, lebih banyak perempuan yang memasuki dunia kerja untuk pertama kalinya dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Utamanya, perempuan-perempuan tersebut berpendidikan rendah dan sebagian besar bekerja sebagai pekerja di sektor informal dan pertanian. • Sementara itu, laki-laki dan perempuan lulusan perguruan tinggi memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk bekerja. • Perempuan usia subur (19-29 tahun) lebih kecil kemungkinannya memasuki dunia kerja untuk membantu keluarga mereka mengatasi masalah ekonomi di tengah krisis, kemungkinan karena adanya tanggung jawab untuk mengurus rumah tangga yang tidak proporsional dan semakin berat selama masa pandemi. • Perempuan maupun laki-laki lebih kecil kemungkinannya bekerja di sektor formal, dan mereka bekerja dengan jam kerja yang lebih sedikit sehingga mendapatkan penghasilan yang lebih kecil. Kendati demikian, pandemi COVID-19 telah menciptakan peluang untuk membangun kembali dengan lebih baik (build back better), namun dibutuhkan kebijakan yang tepat untuk mewujudkannya. • Upaya nyata dibutuhkan untuk mempertahankan perempuan tetap berada dalam angkatan kerja dan tetap bekerja dalam jangka panjang, seperti penyediaan jasa pengasuhan anak yang lebih baik serta penurunan biaya bagi pemberi kerja untuk pemberian tunjangan cuti hamil maupun penyediaan aturan kerja yang fleksibel. • Kampanye untuk mengubah secara bertahap norma-norma sosial yang berkaitan dengan pekerjaan perempuan dan kepercayaan pada jasa pengasuhan anak formal sangat penting untuk mendukung lebih banyak perempuan untuk mulai bekerja dan beralih ke pekerjaan yang lebih berkualitas. • Selanjutnya, dibutuhkan dukungan untuk transisi ke pekerjaan yang lebih berkualitas bagi semua pekerja, termasuk melalui akses yang lebih baik ke informasi pekerjaan dan pendampingan dalam kegiatan pencarian kerja yang sesuai (job matching) dan pelatihan. 01 Pandemi COVID-19 dan kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengendalikan penyebaran virus COVID-19 telah memberikan dampak mendalam terhadap penghidupan penduduk dan perekonomian Indonesia. Pada bulan Agustus 2020, memasuki bulan keenam pandemi, tercatat ada 172.000 kasus dan 7.300 angka kematian.1 PDB Indonesia mengalami kontraksi sebesar 5,32 persen pada Triwulan 2 2020 dan 3,49 persen pada Triwulan 3 tahun 2020.2 Angka pengangguran melonjak menjadi 7,07 persen, dengan 6,3 juta laki-laki dan 3,5 juta perempuan menganggur pada bulan Agustus 2020.3 Ini adalah salah satu kenaikan angka pengangguran tahunan tertinggi sejak Krisis Moneter yang melanda Indonesia dan negara-negara Asia lainnya di tahun 1997. Akan tetapi, dampak krisis COVID-19 terhadap pencapaian ketenagakerjaan perempuan dan laki-laki di Indonesia masih belum jelas. Kesenjangan yang sudah ada sebelumnya pada tingkat partisipasi dan pencapaian pasar tenaga kerja, termasuk segregasi pekerjaan berdasarkan gender, menghasilkan prediksi yang berbeda-beda mengenai bagaimana krisis ini dapat memperlebar atau mempersempit kesenjangan gender di pasar tenaga kerja. Sebelum pandemi, 80 persen laki-laki bekerja dibandingkan dengan hanya 53 persen perempuan.4 Dari 20 persen laki-laki yang tidak bekerja, 84 persen ketidakikutsertaan mereka dalam dunia pekerjaan dapat dijelaskan oleh berbagai alasan (seperti sedang mencari kerja, bersekolah, penyandang disabilitas dan pensiun). Hanya tiga persen laki-laki usia kerja tidak bekerja karena alasan-alasan selain dari yang disebutkan di atas, dibandingkan dengan 30 persen perempuan. Terdapat lebih banyak perempuan (dibandingkan laki- laki) yang memang tidak bekerja sebelum terjadinya pandemi, dan sebetulnya bisa bekerja selama periode krisis ini. Oleh karena itu, kita memperkirakan akan lebih banyak perempuan yang baru memasuki dunia kerja sebagai “pekerja tambahan” (added workers), untuk membantu rumah tangga mereka mengatasi penghasilan yang berkurang atau hilang selama krisis, serupa yang terjadi saat Krisis Moneter tahun 1997.5 1 Kompas (2021) 2 Badan Pusat Statistik Indonesia (2020). 3 Hadiwidjaja, Posadas, dan Pradana (Akan terbit). 4 Rata-rata pra pandemi dihitung sebagai rata-rata dalam Sakernas (periode Februari maupun Agustus) dari tahun 2017 sampai 2019. 5 Frankenberg, Thomas dan Beegle (1999), Posadas dan Sinha (2010). 02 Ada kecenderungan perempuan dan laki-laki bekerja di jenis pekerjaan dan sektor yang berbeda, dan beban pengasuhan anak selama penutupan sekolah cenderung lebih berdampak pada perempuan daripada laki-laki. Perempuan lebih banyak bekerja di sektor- sektor yang memerlukan kontak fisik secara intensif, seperti pariwisata, makanan/minuman dan jasa lainnya,6 yang cenderung terkena dampak buruk pandemi COVID-19. Selain itu, beban tanggung jawab pengasuhan anak dan pekerjaan rumah tangga lainnya lebih banyak jatuh pada perempuan, yang kemungkinan diperparah oleh adanya penutupan sekolah dan pembatasan sosial/ mobilitas akibat pandemi COVID-19. Hasil studi baru-baru ini memperlihatkan bahwa di Indonesia (sebagaimana halnya di semua negara lain), perempuan memiliki kemungkinan yang lebih besar dibandingkan dengan laki-laki untuk menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengasuh anak7 dan melakukan pekerjaan rumah tangga lain yang tidak dibayar8. Bukti terbaru juga menunjukkan bahwa 18 persen rumah tangga Indonesia mempunyai anggota rumah tangga yang berhenti bekerja, atau mengurangi jam kerjanya, agar dapat mendampingi anak-anak mereka yang berada di rumah akibat penutupan sekolah. Beban ini lebih sering menimpa kaum ibu (66 persen) ketimbang kaum ayah (42 persen).9 Semua perkembangan ini memunculkan prediksi bahwa krisis pandemi ini akan berujung pada “She-cession”, di mana akan lebih banyak perempuan kehilangan pekerjaan dibandingkan laki-laki, berbeda dengan krisis-krisis ekonomi sebelumnya.10 Untuk menilai dampak kausal dari pandemi COVID-19 terhadap pencapaian ketenagakerjaan perempuan dan laki-laki di Indonesia, kami memanfaatkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) dari tahun 2017 sampai 2020. Kami menggunakan data Sakernas yang dikumpulkan pada periode Februari dan Agustus setiap tahunnya untuk mempertimbangkan faktor-faktor tren musiman pasar tenaga kerja, di mana angka penyerapan tenaga kerja biasanya sedikit lebih rendah pada pasca musim panen bulan Agustus dibandingkan bulan Februari. Kami menggunakan data dari beberapa periode sebelum pandemi (Februari 2017 sampai Februari 2019) untuk menciptakan sebuah tren historis “normal” pra-pandemi danmembandingkannya dengan periode setelah pandemi (Agustus 2020). Membedakan kedua dimensi tersebut—dimensi antar tahun dan antar musim dalam satu tahun—memastikan bahwa kita tidak mendasarkan perbandingan kita hanya pada tahun tertentu saja, yang mungkin bersifat baik/buruk secara abnormal atau berbeda dengan perubahan musiman pada biasanya. Karenanya, dampak kausal dalam analisis kami adalah perubahan pada periode pandemi yang tidak dapat dijelaskan hanya oleh perbedaan musiman maupun tren antar tahun. Kami menganalisis dampak pandemi COVID-19 terhadap berbagai pencapaian pasar tenaga kerja Indonesia, termasuk partisipasi kerja dan jenis pekerjaan, pekerjaan sektoral, jam kerja dan penghasilan individu.11 Kami membatasi analisis kami pada individu yang berusia 15-64 tahun, sesuai dengan definisi standar penduduk usia kerja. 6 Pekerja perempuan lebih banyak bekerja di sektor akomodasi, makanan dan minuman, yang jumlahnya mencapai 58 persen dibandingkan dengan pekerja laki-laki yang mencapai 42 persen (Sakernas Agustus 2019). 7 SMERU, PROSPERA, UNDP, UNICEF (2021) 8 Seck dkk. (2021) 9 Bank Dunia (2020) 10 Alon dkk. (2020) 11 Kami menggunakan sebuah variasi dari regresi difference-in-difference dengan fixed effects provinsi, tahun dan semester, serta mengontrol karakteristik individu, termasuk usia, tingkat pendidikan, pengalaman pelatihan, tempat tinggal di perkotaan, status perkawinan dan jumlah anak balita. Kami mengelompokkan kesalahan standar di tingkat provinsi, informasi geografis terendah yang tersedia dalam data Sakernas yang disebarkan kepada masyarakat. 03 Temuan-temuan kunci Temuan kunci #1: Enam bulan setelah pandemi melanda Indonesia, laki- laki dari segala usia memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk bekerja, sedangkan perempuan memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk bekerja, kecuali perempuan usia subur (19-29 tahun). Gambar 1: Dampak COVID-19 terhadap Kemungkinan Bekerja 4 Laki-laki Female 2 Dampak COVID-19 (p.p.) 0 –2 –4 –6 Seluruh 19–29 30–44 45–54 55–64 Usia (15–64) Kelompok Usia Sumber: Sakernas 2017 - 2020 (Februari dan Agustus). Perbedaan koefisien gender signifikan secara statistik pada level lima persen. Variabel kontrol dalam regresi adalah status perkawinan, anggota rumah tangga balita, jenjang pendidikan, pengalaman pelatihan, status pedesaan/perkotaan. Semua spesifikasi mencakup fixed effects tahun, provinsi, bulan. Pada penduduk usia kerja, secara rata-rata, laki-laki memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk bekerja, sedangkan perempuan lebih besar kemungkinannya untuk bekerja, dibandingkan dengan periode pra-pandemi. Oleh karena itu, krisis COVID-19 telah memperkecil kesenjangan gender dalam partisipasi pasar tenaga kerja sebesar 14 persen. Kami mendapati bahwa selama pandemi, perempuan memasuki angkatan kerja untuk pertama kalinya sebagai “pekerja tambahan” (added workers).12 Peningkatan penyerapan tenaga kerja perempuan sebanding dengan berkurangnya persentase perempuan di luar angkatan kerja (baik mereka yang sedang bersekolah maupun yang tidak). Lebih dari seperlima peningkatan penyerapan tenaga perempuan didorong oleh perempuan yang mulai bekerja tanpa pengalaman kerja sebelumnya. Sebagian besar angkatan kerja perempuan baru ini berpendidikan lebih rendah dan belum menamatkan pendidikan menengah mereka. Sebaliknya, perempuan lulusan perguruan tinggi terkena dampak buruk pandemi COVID-19. Dampak negatif pandemi COVID-19 juga terlihat pada perempuan usia subur (19-29 tahun), yang menunjukkan bahwa tanggung jawab pengasuhan anak dapat menghalangi perempuan untuk bekerja sebagai pekerja tambahan dan membantu rumah tangganya mengatasi krisis keuangan. Sementara itu, pandemi COVID-19 secara konsisten memberikan dampak negatif terhadap laki-laki pada seluruh kelompok usia. 12 Efek “pekerja tambahan” (added worker) adalah masuknya pencari nafkah sekunder (khususnya) untuk membantu rumah tangganya mengatasi kesulitan ekonomi. Sebagai pengganti pengidentifikasi rumah tangga aktual, kami mengkonstruksikan pengidentifikasi rumah tangga prediksi dalam Sakernas bulan Agustus 2020. Kami mendapati bahwa hampir sepertiga dari perempuan berstatus menikah yang baru bekerja mempunyai suami yang mengalami pengurangan penghasilan dibandingkan dengan penghasilan Januari 2020. 04 Temuan kunci #2: Meskipun ada lebih banyak perempuan yang bekerja, lebih banyak perempuan bekerja pada pekerjaan berkualitas rendah: selama pandemi, jumlah karyawan penerima upah menjadi lebih sedikit, sedangkan jumlah pekerja lepas dan pekerja keluarga yang tidak berbayar di sektor pertanian menjadi lebih banyak. Gambar 2: Dampak COVID-19 terhadap Kemungkinan Bekerja di Berbagai Jenis Pekerjaan 4 Laki-laki 3 Female 2 Dampak COVID-19 (p.p.) 1 0 –1 –2 –3 –4 –5 Bekerja Mandiri Karyawan Pekerja Lepas Pekerja Keluarga Tanpa Upah Status Pekerjaan Catatan: Perbedaan koefisien gender signifikan secara statistik pada level lima persen. Sumber: Sakernas 2017 - 2020 (Februari dan Agustus). Variabel kontrol regresi mencakup usia, usia yang dikuadratkan, status perkawinan, jumlah anggota rumah tangga balita, jenjang pendidikan, dummy pengalaman partisipasi dalam program pelatihan, status pedesaan/perkotaan. Semua spesifikasi mencakup fixed effects tahun, provinsi, bulan. Bekerja mandiri mencakup tanggungan sendiri, menjadi pemberi kerja dengan pekerja tetap dan/atau tidak tetap, dan pekerja lepas (casual workers) mencakup pekerja di sektor pertanian dan non- pertanian. Pandemi COVID-19 juga mempengaruhi kualitas pekerjaan perempuan dan laki-laki. Kami mengamati adanya penurunan yang besar pada kemungkinan bekerja sebagai karyawan dan padapekerjaan-pekerjaan “kerah putih” – seperti pekerja profesional dan teknis, administratif dan klerikal—bagi perempuan maupun laki-laki, dan dampak negatifnya lebih besar bagi laki-laki. Di pihak lain, kami melihat peningkatan yang besar pada kemungkinan menjadi pekerja lepas dan pekerja keluarga tidak berbayar. Temuan ini konsisten dengan besarnya peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian di wilayah pedesaan. 05 Temuan kunci #3: Apabila bekerja, selama pandemi perempuan dan laki-laki bekerja dengan jumlah jam lebih sedikit dan mendapatkan upah yang lebih rendah. Di sektor formal, perempuan bekerja dengan jumlah jam lebih sedikit daripada laki-laki. Gambar 3: Dampak COVID-19 terhadap Jam Kerja dan Penghasilan Bulanan 2 0 Dampak COVID-19 (Jam) Dampak COVID-19 (%) –8 –2 –16 –24 –6 –32 Semua Formal Informal Semua Formal Informal Panel A: Jam Kerja Panel B: Pendapatan Bulanan Riil Laki-laki Perempuan Sumber: Sakernas 2017 - 2020 (Februari dan Agustus). Warna yang lebih gelap mengindikasikan bahwa perbedaan koefisien gender signifikan secara statistik pada level lima persen. Observasi hanya mencakup responden yang telah bekerja lebih dari enam bulan. Variabel kontrol dalam regresi mencakup usia, unsur kuadrat usia, status perkawinan, tingkat pendidikan yang luas, anggota rumah tangga balita, pengalaman pelatihan, status pedesaan/perkotaan. Semua spesifikasi mencakup fixed effects tahun, provinsi, pekerjaan, sektor, bulan. Krisis juga mempengaruhi jumlah jam kerja dan penghasilan, dan efeknya bervariasi menurut jenis pekerjaan. Misalnya, individu yang bekerja secara mandiri mungkin akan lebih fleksibel untuk menyesuaikan jam kerja mereka daripada karyawan yang menerima upah. Sebaliknya, karyawan upahan yang memiliki kontrak kerja mungkin mempunyai struktur upah yang lebih kaku dan dapat mengharapkan upah tetap meskipun jam kerjanya lebih sedikit. Dengan membatasi analisis pada perempuan dan laki-laki yang telah bekerja di pekerjaan yang sama selama sedikitnya enam bulan (yaitu pekerjaan yang sama sebelum munculnya pandemi pada bulan Maret 2020), kami mendapati bahwa perempuan dan laki-laki bekerja masing-masing 2,3 dan 2,7 jam lebih sedikit dibandingkan dengan rata-rata total jam kerja dalam seminggu sebelum pandemi. Akan tetapi, perempuan pekerja formal mengalami dampak negatif krisis COVID-19 yang lebih besar dibandingkan laki-laki: mereka bekerja selama 1,5 jam lebih sedikit daripada pekerja laki-laki. Pengurangan jam kerja ini bersifat tidak sukarela: perempuan dan laki-laki menyatakan bahwa mereka sebetulnya ingin bekerja dengan jam kerja yang lebih lama jika bisa. Sementara itu, kebalikannya terjadi pada pekerja di sektor informal: perempuan bekerja 1,5 jam lebih lama daripada laki-laki. Selain itu, kami mendapati bahwa perempuan dan laki-laki yang bekerja menerima penghasilan masing-masing 22,6 dan 19,4 persen lebih sedikit per bulan sejak pandemi COVID-19.13 Konsisten dengan ekspektasi bahwa pekerja formal mempunyai struktur upah yang lebih kaku, kami mendapati bahwa perempuan maupun laki-laki yang bekerja di sektor informal mengalami penurunan penghasilan yang lebih besar dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang bekerja di sektor formal.14 13 Penghasilan bulanan disesuaikan terhadap inflasi dengan nilai USD konstan yang menggunakan tahun 2017 sebagai tahun dasar. 14 Secara hipotesis, penurunan penghasilan bulanan dapat disebabkan oleh pengurangan jam kerja dan/atau pengurangan upah per jam, atau peralihan ke pekerjaan dengan upah yang lebih rendah. Karena analisis ini terbatas pada individu-individu yang memiliki pekerjaan yang sama dengan pekerjaan sebelum pandemi, penurunan penghasilan bulanan yang diamati hanya 06 dapat disebabkan oleh dua alasan pertama. Wawasan kebijakan: memanfaatkan momentum untuk mempertahankan agar perempuan tetap bekerja dan mendorong semua pekerja Indonesia ke pekerjaan yang lebih berkualitas. Building on the momentum to Peningkatan partisipasi tenaga kerja perempuan yang dipicu oleh COVID-19, setelah bertahun-tahun mengalami stagnasi, perlu dipertahankan. Partisipasi tenaga kerja perempuan women keep stagnansi di Indonesia menunjukkan tahun 1980an,and working sejak berada to pada kisaran sekitar 50 persen. move all Meskipun ada tanda-tanda – termasuk workers Indonesian perbaikan perubahan norma mengenai pekerjaan into better quality employment perempuan, khususnya di wilayah perkotaan – kemajuannya masih lambat. Krisis COVID-19 telah 15 mengurangi kesenjangan gender pada partisipasi di pasar tenaga kerja, yang disebabkan oleh adanya pekerja tambahan perempuan (added workers). Tetapi, yang masih menjadi pertanyaan adalah apakah lebih tingginya pekerja perempuan dapat dipertahankan melampaui masa krisis ini, atau akankah Indonesia kembali ke kondisi “normal pra-pandemi” dengan partisipasi tenaga kerja perempuan yang rendah setelah krisis berakhir. Krisis COVID-19 berpotensi menjadi titik balik (tipping point) untuk perubahan berkelanjutan dan terus-menerus, jika didukung oleh kebijakan yang tepat. Ada pembelajaran yang bisa dipetik dari Perang Dunia II ketika sebagian besar laki-laki dikerahkan untuk bertempur dalam perang, dan menimbulkan kekurangan pasokan tenaga kerja yang besar di Amerika Serikat. Untuk mempekerjakan penduduk terakhir yang tersedia, yang sebagian besar terdiri dari perempuan yang memiliki anak-anak kecil, pemerintah Amerika Serikat memperkenalkan program pengasuhan anak universal pertama dan satu-satunya di tingkat federal: Lanham Act tahun 1940.16 Hasil kajian memperlihatkan bahwa krisis yang dipicu oleh perang ini mempunyai dampak jangka panjang positif terhadap partisipasi tenaga kerja perempuan di Amerika Serikat, yang bertahan bahkan setelah perang usai.17 15 Cameron, Suarez dan Rowell (2019). 16 Herbst (2017). 17 Acemoglu (2004), Goldin dan Olivetti (2013). 07 Bukti yang ada menunjuk ke dampak positif peningkatan penyediaan dan akses ke pengasuhan anak terhadap pekerjaan perempuan, tetapi hal itu bukan obat untuk segala penyakit. Misalnya, hasil kajian yang baru dilakukan menunjukkan bahwa institusi pra-sekolah negeri, sebagai salah satu bentuk pelayanan pengasuhan anak, efektif dalam meningkatkan tingkat partisipasi kerja kaum ibu sebesar sembilan persen.18 Sebuah model simulasi makro yang mencakup layanan pengasuhan anak bersubsidi juga menunjukkan adanya peningkatan permintaan tenaga kerja, di mana sebagian besar pekerjaan yang diciptakan mengalir kepada kaum perempuan, sebagai akibat dari terbebasnya waktu perempuan dari pengasuhan dan juga jenis pekerjaan yang diciptakan di sektor pengasuhan.19 Hasil kajian baru-baru ini mengenai penawaran pengasuhan anak di Indonesia menunjukkan bahwa kesulitan dalam memenuhi standar dan regulasi pengasuhan anak menimbulkan rintangan besar terhadap masuknya penyedia layanan swasta, dan penyederhanaan regulasi tanpa mengorbankan kualitas dapat membantu mendorong lebih banyak pihak swasta untuk menyediakan pengasuhan anak.20,21 Akan tetapi, infrastruktur pengasuhan yang lebih baik, termasuk tindakan-tindakan untuk menstimulasi penyediaan pelayanan pengasuhan yang memenuhi syarat dan terjangkau di sektor publik maupun swasta, bukan satu-satunya unsur, atau obat bagi segala penyakit (panacea), untuk mempertahankan tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan yang lebih tinggi. Norma-norma sosial yang lekat dengan kaum ibu yang mengandalkan pengasuhan anak formal masih menimbulkan tantangan bagi pekerjaan perempuan.22 Perubahan stigma/pandangan ini dapat membantu menciptakan lingkungan pendukung bagi ekonomi perawatan dan mempertahankan perempuan dalam angkatan kerja, misalnya melalui kampanye informasi. Norma-norma sosial dan gender juga masih tetap membatasi potensi perempuan untuk bekerja dan beralih ke pekerjaan yang lebih berkualitas, sehingga perubahan sikap menjadi sangat penting. Norma-norma ini cenderung menentukan jenis pekerjaan yang “dapat diterima” bagi perempuan. Sebuah kajian kualitatif baru-baru ini mengenai partisipasi kerja perempuan di Indonesia memperlihatkan bahwa perempuan yang bekerja untuk menghasilkan pendapatan tambahan bagi keluarganya dipandang dapat diterima, sepanjang pendapatan tersebut bukanlah merupakan sumber pendapatan utama bagi keluarga.23 Selain itu, meskipun banyak perempuan mempelajari bidang sains, teknologi, teknik dan matematika (STEM), terdapat perbedaan di berbagai bidang STEM—di mana perempuan kurang terwakili di bidang teknik dan teknologi informasi—dan lebih lanjut, siswa perempuan memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk meniti karir di bidang STEM dibandingkan siswa laki-laki.24 Akan tetapi, norma-norma tersebut mungkin kurang sejalan dengan apa yang dipercayai oleh setiap individu secara pribadi dan dapat pula dipengaruhi oleh persepsi yang tidak akurat mengenai apa yang dapat diterima di masyarakat mereka.25 Perbaikan bias ini terbukti mempunyai dampak positif terhadap pekerjaan perempuan.26 Kampanye perubahan perilaku dan sosial media —seperti memberikan contoh ayah dan ibu yang berbagi pekerjaan rumah tangga, memperlihatkan model peran perempuan, dan mempertunjukkan model peran laki-laki dan perempuan yang beralih ke bidang-bidang yang didominasi perempuan dan yang didominasi laki- laki, misalnya, perawat laki-laki atau ahli mesin perempuan–dapat membantu mengubah persepsi sosial mengenai hal-hal apa saja yang dapat dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. 18 Halim, Johnson, dan Perova (2021). 19 Bank Dunia (2021b) 20 Prospera, IBCWE, Spire, dan CIPS (Akan Terbit) 21 MAMPU dan KOMPAK (2016). 22 Purnamasari dkk. (2020). 23 Purnamasari dkk. (2020). 24 Alatas, Lain, dan Setyonaluri (2020) 25 Goldstein dkk (Akan Terbit 2021). 26 Bursztyn, Gonzalez dan Yanagiz (2020). 08 Menyediakan pengaturan kerja yang fleksibel, menyesuaikan cuti orang tua, dan mengganti biaya cuti hamil yang ditanggung oleh pemberi kerja dapat membawa lebih banyak pekerja perempuan ke sektor formal. Bidang pekerjaan upahan yang kaku, meskipun menawarkan stabilitas pekerjaan yang lebih baik dan remunerasi yang lebih baik, mungkin lebih tidak terjangkau oleh perempuan, khususnya setelah melahirkan. Seringkali, perempuan beralih ke pekerjaan paruh-waktu atau bekerja mandiri agar dapat memenuhi tanggung jawab untuk mengasuh anak. Pengaturan kerja yang fleksibel, seperti bekerja dari rumah (work-from-home) atau jadwal kerja yang fleksibel yang menjadi lebih lazim sejak pandemi, memungkinkan perempuan untuk tetap bekerja di pekerjaan upahan setelah melahirkan. Sementara itu, perbaikan ketentuan dan cakupan cuti melahirkan juga dapat memastikan agar perempuan tidak perlu berhenti bekerja setelah mereka melahirkan. Akan tetapi, jika pemberi kerja menanggung seluruh biaya cuti melahirkan maka mereka mungkin menjadi enggan untuk mempekerjakan perempuan, atau mungkin mempekerjakan perempuan dengan upah yang lebih rendah. Penambahan lamanya cuti ayah dapat meminimalkan kesenjangan manfaat (atau biaya, jika dilihat dari sisi pemberi kerja) yang dialokasikan kepada karyawan laki-laki dan perempuan. Sebagai alternatif, pemerintah mungkin ingin menutupi biaya tambahan pemberi kerja yang berkaitan dengan manfaat cuti melahirkan, misalnya dengan memberikan subsidi pajak kepada pemberi kerja yang memiliki karyawan perempuan, atau dengan mengintegrasikan manfaat cuti melahirkan di BPJS Ketenagakerjaan.27 Penting untuk ditekankan bahwa tidak boleh ada pembedaan gender dalam hal biaya bulanan, supaya pemberi kerja tidak enggan mempekerjakan perempuan. Peningkatan Sistem Informasi Pasar Tenaga Kerja (Labor Market Information System, LMIS) akan memungkinkan penyelenggaraan job matching & rematching yang lebih baik, memastikan ekonomi lebih tahan terhadap krisis di masa mendatang. Hasil kajian baru-baru ini memperlihatkan bahwa perempuan Indonesia bersedia untuk memasuki angkatan kerja jika mereka dapat menemukan pekerjaan yang cocok. Pelayanan bursa kerja/job matching dan pelatihan kejuruan yang secara spesifik ditargetkan kepada perempuan, merupakan sebuah potensi solusi.28 Kurangnya informasi terkait ketersediaan pekerjaan dan tantangan bursa kerja, khususnya pada masa krisis, perlu segera diatasi.29 LMIS yang lebih canggih akan mendukung pencari kerja maupun perusahaan. Hal ini akan meminimalkan durasi pencarian kerja dan biaya perekrutan. Adanya LMIS juga akan memastikan bahwa perekonomian akan lebih tahan terhadap krisis di masa mendatang, sehingga dapat mempercepat pemulihan dan penyerapan kembali tenaga kerja, baik laki-laki maupun perempuan. 27 BPJS Ketenagakerjaan memberikan empat jenis program jaminan sosial kepada para pekerjanya yang terdaftar: i) Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK); ii) Jaminan Kematian (JKM); iii) Jaminan Hari Tua (JHT); dan iv) Jaminan Pensiun. 28 Schaner dan Das (2016). 29 Wihardja dan Cunningham (2021). 09 Referensi Acemoglu, Daron, David H. Autor, dan David Lyle. 2004. “Women, War, and Wages: The Effect of Female Labor Supply on the Wage Structure at Midcentury.” Journal of Political Economy, Vol 112, No. 3. Alon, Titan, Matthias Doepke, Jane Olmstead-Rumsey, dan Michèle Tertilt. 2020. “The Impact of COVID-19 on Gender Equality.” NBER Working Paper No. 26947. Altonji, Joseph G., Lisa B. Kahn, dan Jamin D. Speer. 2016. “Cashier or Consultant? Entry Labor Market Conditions, Field of Study, and Career Success.” Journal of Labor Economics, Vol. 34, No. S1, Part 2. Badan Pusat Statistik. 2020. Berita Resmi Statistik: Badan Pusat Statistik. August 5. https://www. bps.go.id/pressrelease/2020/08/05/1737/-ekonomi-indonesia-triwulan-ii-2020-turun-5- 32-persen.html. Bursztyn, Leonardo, Alessandra L. Gonzalez, dan David Yanagizawa-Drott. 2020. “Misperceived Social Norms: Women Working Outside the Home in Saudi Arabia.” American Economic Review, Vol. 110, No. 10 2997-3029. Cameron, Lisa, Diana C. Suarez, dan William Rowell. 2019, Vol. 55. “Female Labour Force Participation in Indonesia: Why Has it Stalled?” Bulletin of Indonesian Economic Studies 157-192. Frankenberg, Elizabeth, Duncan Thomas, dan Kathleen Beegle. 1999. “The real costs of Indonesia’s economic crisis: Preliminary findings from the Indonesia Family Life Surveys.” Papers 99- 04. Goldin, Claudia, dan Claudia Olivetti. 2013. “Shocking Labor Supply: A Reassessment of the Role of World War II on U.S. Women’s Labor Supply.” American Economic Review, Vol. 103, No. 3 257-62. Goldstein, Markus, Paula Gonzalez, Sreelakshmi Papineni, dan Joshua Wimpey. Akan Terbit. “Why should we care about (child)care? Impact of Global COVID-19 School Closure Policies on Gender Gaps in Business.” Hadiwidjaja, Gracia, Josefina Posadas, dan Abror T. Pradana. Akan Terbit. Labor market dynamics during the COVID-19 pandemic. Jakarta: World Bank. Halim, Daniel, Hillary C. Johnson, dan Elizaveta Perova. 2021. “Preschool Availability and Female Labor Force Participation : Evidence from Indonesia.” Economic Development and Cultural Change. Herbst, Chris M. 2017. “Universal Child Care, Maternal Employment, and Children’s Long-Run Outcomes: Evidence from the US Lanham Act of 1940.” Journal of Labor Economics, Vol. 35, No. 2. 10 Hershbein, Brad. 2009. “Persistence in labor supply effects of graduating in a recession: the case of high school women.” University of Michigan. Johnson, Hillary C., Elizaveta Perova, Sundas Liaqat, Ervin Dervisevic, Jose D. Trujillo, Akaravuit Pancharoen, Alexander Spevack, Yue Wu, John J. G. Pulgarin, dan Yulia Krylova. Akan Terbit. Design differently: Addressing the Challenges of Female Entrepreneurs in Southeast Asia. The World Bank’s East Asia and Pacific Gender Innovation Lab. Kompas. 2020. “ UPDATE 30 Agustus: Tambah 2.858, Kasus Covid-19 Indonesia Capai 172.053”. https://nasional.kompas.com/read/2020/08/30/15394981/update-30-agustus-tambah- 2858-kasus-covid-19-indonesia-capai-172053. MAMPU dan KOMPAK. 2016. Review of Village and Community Daycare Provision in Indonesia. MAMPU. OECD. 2018. SME and Entrepreneurship Policy in Indonesia 2018. OECD. : Evidence Posadas, Josefina, dan Nistha Sinha. 2010. “Persistence of The Added Worker Effect​ using panel data from Indonesia.” IZA Conference Papers. Prospera, IBCWE, CPIS, Spire. Akan Terbit. “Childcare Options for Promoting Women’s Economic Participation in Urban Indonesia.” Purnamasari, Ririn S., Nina Weimann-Sandig, Resmi S. Milawati, dan Sheila Town. 2020. What’s Holding Women Back? A Qualitative Study of Constraints Underlying Women’s Labor Force Participation in Indonesia: The Case of Java. Jakarta: World Bank. Diakses 15 Juni 2021. Schaner, Simone, dan Smita Das. 2016. “Female Labor Force Participation in Asia: Indonesia Country Study.” ADB Economics Working Paper Series, No. 474. Seck, Papa A., Jessamyn O. Encarnacion, Cecilia Tinonin, dan Sara Duerto-Valero. 2021. “Gendered Impacts of COVID-19 in Asia and the Pacific: Early Evidence on Deepening Socioeconomic Inequalities in Paid and Unpaid Work.” Feminist Economics, Vol. 27 117- 132. SMERU Research Institute. 2021. The Social and Economic Impacts of COVID-19 on Households and Strategic Policy Recommendations for Indonesia. Jakarta: SMERU Research Institute. Wihardja, Maria M., dan Wendy Cunningham. 2021. Pathways to Middle-Class Jobs in Indonesia. World Bank. World Bank. 2020. Indonesia High-Frequency Monitoring of COVID-19 Impacts. Jakarta: World Bank. World Bank. 2021a. Boosting the Recovery. Jakarta: World Bank. World Bank. 2021b. Indonesia’s Occupational Employment Outlook. Jakarta: World Bank. 11 Lampiran Tabel 1. Dampak COVID-19 Terhadap Kemungkinan Bekerja (Pendamping Gambar 1) Partisipasi Tenaga Kerja Usia 15-64 Usia 19-29 Usia 30-44 Usia 45-54 Usia 55-64 Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) Pasca COVID -0.025*** 0.014** -0.04*** -0.011* -0.041*** 0.015** -0.041*** 0.0105 -0.021*** 0.022*** (0.004) (0.005) (0.007) (0.0t06) (0.005) (0.006) (0.004) (0.007) (0.004) (0.008) Observasi 1,493,858 1,518,906 322,401 322,005 492,828 526,446 302,766 307,734 203,785 203,063 Rata-rata pra 0.81 0.54 0.76 0.49 0.95 0.62 0.94 0.66 0.84 0.56 pandemi Catatan: *, ** dan *** menunjukkan signifikansi masing-masing pada level 10%, 5% dan 1%. Regresi pada penduduk usia 15- 64 tahun. Variabel kontrol dalam regresi meliputi status perkawinan, jumlah balita, dummy jenjang pendidikan SMP, SMA dan perguruan tinggi, dummy pengalaman pelatihan sebelumnya, dan dummy status perkotaan. Spesifikasi juga mencakup fixed effects tahun, provinsi dan bulan. Regresi meliputi periode 2017-2020, yang diambil dari putaran Februari dan Agustus Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas). Standard errors dikelompokkan pada tingkat provinsi. Tabel 2. Dampak COVID-19 Terhadap Kemungkinan Bekerja di Berbagai Jenis Pekerjaan (Pendamping Gambar 2) Partisipasi Tenaga Kerja menurut Jenis Pekerjaan Pekerja Keluarga Tidak Bekerja Mandiri Karyawan Pekerjaan Lepas Menerima Upah Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) Pasca COVID -0.002 0.009*** -0.048*** -0.025*** 0.008*** 0.002 0.0176*** 0.028*** (0.003) (0.002) (0.003) (0.002) (0.002) (0.001) (0.001) (0.003) Observasi 1,493,858 1,518,906 1,493,858 1,518,906 1,493,858 1,518,906 1,493,858 1,518,906 Rata-rata pra 0.36 0.19 0.31 0.18 0.09 0.03 0.05 0.15 pandemi Catatan: *, ** dan *** menunjukkan signifikansi masing-masing pada level 10%, 5% dan 1%. Regresi pada penduduk usia 15-64 tahun. Variabel kontrol dalam regresi meliputi usia, unsur kuadrat usia, status perkawinan, jumlah balita, dummy jenjang pen- didikan SMP, SMA dan perguruan tinggi, dummy pengalaman pelatihan sebelumnya, dan dummy status perkotaan. Spesifikasi juga mencakup fixed effects tahun, provinsi dan bulan. Regresi meliputi periode 2017-2020, yang diambil dari putaran Februari dan Agustus Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas). Standard errors dikelompokkan di tingkat provinsi. 12 Tabel 3. Dampak COVID-19 terhadap Penghasilan Bulanan (Pendamping Gambar 3) Log Penghasilan Bulanan Rill Male Perempuan Semua Informal Formal All Informal Formal (1) (2) (3) (4) (5) (6) Pasca COVID -0.194*** -0.200*** -0.0986*** -0.226*** -0.209*** -0.209*** (0.0175) (0.0255) (0.008) (0.036) (0.05) (0.01) Observasi 784,073 387,032 397,041 611,747 380,118 231,629 Baseline average (IDR) 1,230,888 849,575 1,602,591 683,691 313,282 1,291,557 Catatan: *, ** dan *** menunjukkan signifikansi masing-masing pada level 10%, 5% dan 1%. Regresi pada pekerja usia 15-64 tahun yang telah bekerja selama lebih dari enam bulan. Variabel kontrol dalam regresi meliputi usia, unsur kuadrat usia, status perkawinan, jumlah anggota rumah tangga balita, dummy jenjang pendidikan SMP, SMA dan perguruan tinggi, dummy pen- galaman pelatihan sebelumnya, dan dummy status perkotaan. Spesifikasi juga mencakup fixed effects tahun, provinsi, bulan, pekerjaan dan sektoral. Regresi meliputi periode 2017-2020, yang diambil dari putaran Februari dan Agustus Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas). Standard errors dikelompokkan di tingkat provinsi. Tabel 4. Dampak COVID-19 terhadap Jumlah Jam Kerja (Pendamping Gambar 3) Total Jam Kerja Mingguan Laki-laki Perempuan Semua Informal Formal All Informal Formal (1) (2) (3) (4) (5) (6) Pasca COVID -2.726*** -2.183*** -3.265*** -2.269*** -0.683*** -4.749*** (0.215) (0.261) (0.208) (0.197) (0.218) (0.243) Observasi 1,056,820 609,444 447,376 727,948 483,535 244,413 Rata-rata baseline (jam) 42.02 39.75 45.51 35.85 34.41 40.09 Catatan: *, ** dan *** menunjukkan signifikansi masing-masing pada level 10%, 5% dan 1%. Regresi pada pekerja usia 15- 64 tahun yang telah bekerja selama lebih dari enam bulan. Variabel kontrol dalam regresi meliputi usia, unsur kuadrat usia, status perkawinan, jumlah anggota rumah tangga balita, dummy jenjang pendidikan SMP, SMA dan perguruan tinggi, dummy pengalaman pelatihan sebelumnya, dan dummy status perkotaan. Spesifikasi juga mencakup fixed effects tahun, provinsi, bulan, pekerjaan dan sektoral. Regresi meliputi periode 2017-2020, yang diambil dari putaran Februari dan Agustus Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas). Standard errors dikelompokkan di tingkat provinsi. Dukungan keuangan untuk laporan ini diberikan oleh Pemerintah Australia melalui Kemitraan Australia-Bank Dunia di Indonesia (ABIP). Tim penulis mengucapkan terima kasih kepada Jacobus Joost De Hoop (Senior Economist, ELCPV) and Josefina Posadas (Senior Economist, HEASP) untuk masukan yang bermanfaat. 13